MEMETAKAN KESIAPAN PENYELENGGARA DALAM PILKADA 2015
5 min readOleh : Arief Hidayat, S.IP
Pegiat Kajian Sosial Politik, Tinggal di Pangkalpinang
Pilkada yang akan dilaksanakan pada tahun 2015 ini memang tidak terlepas dari berbagai dinamika yang mengiringinya. Mulai dri awal sampai pada tahapan pelaksanaan saat ini masih ada saja kendala yang sangat mungkin mampu memberikan penggiringan opini oleh sebagian pihak tentang adanya penundaan pilkada karena ketidaksiapan baik dari segi materi, maupun penyelenggara, serta kontestan yang mengikuti ajang perhelatannya. Dalam perjalanan sejarah Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung di Indonesia selalu dilakukan dengan tergesa dan persiapan yang seolah apa adanya (baca: insidental). Dua regulasi yang menjadi dasar penyelenggaraan Pilkada gelombang pertama (2005-2008) disahkan dalam kondisi kritis. Pertama, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, baru ditandatangi Megawati tanggal 15 Oktober, lima hari menjelang berakhirnya jabatan beliau sebagai Presiden RI ke-5. Lalu, Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah ditandatangani MenKumHam Hamid Awaludin 11 Februari 2005. Padahal empat bulan setelah itu, Juni 2005, di beberapa daerah sudah harus melaksanakan pemungutan suara. Sepuluh tahun kemudian, hal tersebut terulang lagi. Pada September 2014 DPR mengesahkan UU 22 tahun 2014 tentang Pilkada Tidak Langsung. Kemudian di akhir masa jabatannya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perpu No 1 tahun 2014 tentang Pilkada Langsung. Setelah Perpu No 1 tahun 2014 disahkan menjadi UU No 1 tahun 2015, mengingat materi di dalamnya masih banyak kelemahan, maka direvisi dan menghasilkan UU No 8 tahun 2015, yang menjadi dasar pelaksanaan Pilkada sekarang (Marwanto, 2015).
Demokrasi yang Tergesa
Demokrasi lokal kita terbiasa bekerja dalam irama yang tergesa. Hal ini karena regulasi yang menajdi dasar pelaksanaan dibuat melalui bargaining politik dan baru mencapai kesepakatan di detik-detik akhir. Imbas dari ini semua adalah pertaruhan terhadap kualitas demokrasi lokal itu sendiri. Kualitas di sini mesti dilhat dari dua aspek, yakni kualitas proses dan kualitas hasil. Dalam hal ini kita tidak akan mengupas hasil, namun lebih mencermati proses yang berlangsung dalam tahapan persiapan yang saat ini masih berjalan. Dalam laporan yang dirilis oleh Bawaslu RI melalui Bagian Analisis Teknis Pengawasan dan Potensi Pelanggaran Biro Hukum Humas dan Pengawasan Internal pada tanggal 22 Juni 2015, terkait dengan kesiapan anggaran pada tingkat Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, terlihat bahwa sebagian anggaran Panwas Kabupaten/Kota sudah disetujui. Disetujui di sini dalam arti sudah disepakati dan dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Ada 187 daerah yang telah mendapat persetujuan dan menandatangani naskah NPHD. Ada 9 Kabupaten/Kota yang anggarannya disetujui dan besarannya sesuai dengan permintaan. Sebanyak 12 Kabupaten/Kota lainnya telah menandatangani NPHD dan besaran anggaran yang disetujui lebih besar dari permintaan sebelumnya. Sedangkan 166 Kabupaten/Kota lain masih memiliki kendala terkait anggaran karena anggaran yang disetujui nilainya lebih rendah dari permintaan. Secara persentase, sebanyak 63,85% atau 26 kota dan 140 kabupaten dana yang diajukan untuk Panwas bernilau “kurang”. Adapun sebanyak 28,08% belum juga disetujui oleh Pemda setempat atau sebanyak 8 kota dan 65 kabupaten. Yang dinyatakan sesuai hanya 3,46 persen atau sebanyak 1 kota dan 8 kabupaten saja. Jika kita melihat indikator yang dipantau dalam survei yang dilakukan oleh Bawaslu RI, sangat nampak sekali banyak daerah yang tidak menyiapkan anggaran dalam APBD-nya dikarenakan banyak hal, mulai dari kepentingan petahana yang akan maju kembali dalam pilkada, ketidaksepahaman pemerintah daerah dan juga kebijakan pusat tentang pilkada, sampai kepada dinamika internal daerah yang mungkin tidak memprioritaskan pilkada. Namun, kita sungguh menyayangkan jika ini yang terjadi. Sedikit banyak perilaku para politisi senayan yang terbelah pendapatnya terhadap pilkada yang berlangsung secara langsung dan tidak langsung turut memberikan andil dalam ketidaksiapan Paemerintah Daerah menyiapkan anggaran pilkada. Kedua, Dari total 260 Kab/kota yang akan melaksanakan pemilihan, masih ada 8 Kota dan 65 Kabupaten yang belum mendapat persetujuan dan menandatangani naskah NPHD. Daerah-daerah yang belum dapat persetujuan dan menandatangani NPHD yang tersebar di beberapa wilayah diantaranya: Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Bengkulu, Kalimantan Barat, kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Sebelumnya Kemendagri telah mewanti-wanti perihal NPHD ini dan telah diberi tenggat waktu pada tanggal 3 Juni 2015, kepada daerah untuk melaksanakannya. Jika tidak pilkada terancam diundur pada tahun 2017. Sehingga jika dicermati lebih jauh, justru banyak daerah yang tidak siap dalam pelaksanaan Pilkada, padahal Pilkada sudah menjadi agenda kebijakan nasional setelah diundangkannya UU Nomor 1 tahun 2015 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
Aspek Kesiapan Personil Panwas
Dalam laporan Bawaslu RI tersebut, aspek personil juga menjadi salah satu perhatian utama. Aspek ini menyangkut beberapa hal yang menjadi kelengkapan organisasi Panwas Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasanya. Ada tiga hal yang menjadi perhatian dari aspek personil ini yaitu: adanya Kepala Sekretariat, Staf Sekretariat dan Kantor Sekretariat. Ketiga hal tersebut merupakan faktor pendukung kinerja Panwas dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Berkaitan dengan aspek kesiapan personil, terlihat bahwa pada tingkat Kabupaten/Kota ketersediaan personil sudah terpenuhi di lebih dari 200 Kab/Kota, sedangkan sisanya belum terbentuk atau bahkan tidak siapa sama sekali. Masih banyaknya daerah yang belum siap secara manajeman turut terpengaruh akibat belum adanya kejelasan dana yang dialokasikan untuk Panwas dalam melakukan pengawasan pilkada 2015. Diantara daerah yang berkategori “kurang siap” tersebut diantaranya: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Kalimantan Timur. Adapun kategori daerah yang “belum siap” diantaranya Sumatera Barat, Maluku Utara, Papua, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan diua Daerah lainnya dinyatakan “tidak siap” diantaranya adalah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Adapun aspek lain yang dicermati adalah pembentukan Panitia Pengawas Kecamatan (Panawascam). Laporan menujukkan Berkaitan dengan kesiapan kelembagaan Panwas di Tingkat Kecamatan, terlihat bahwa berdasarkan data telah terbentuk Panwas Kecamatan di 142 Kabupaten/Kota. Sedangkan 124 Kabupaten/Kota lainnya dilaporkan belum memiliki Panwascam. Dan 40 Kabupaten/Kota lainnya belum menyerahkan data terbaru. Jika kita cermati seharusnya Panwascam telah terbentuk satu bulan sebelum berlangsungnya tahapan Pilkada. Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 70 yang menyatakan bahwa “Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai”. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi yang ada sekarang ini dalam mempersiapkan perhelatan pilkada.
Political Will Solusinya
Dari carut marut tentang persiapan pelaksanaan pilkada, khususnya bagi penyelenggara ini kiranya dapat menjadi dorongan bagi pemerintah untuk lebih mensolidkan kembali kesatuan gerak political will pemerintah pusat dan daerah, yang sudah dibuat menjadi kebijakan nasional di parlemen melalui pengesahan UU nomor 1 tahun 2015 yang kemudian diubah menjadi UU nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Terbelahnya pendapat janganlah dijadikan sebagai preseden bagi pencederaan demokrasi ditingkat lokal, biarlah cendawan demokrasi itu berkembang subur karena pilkada adalah konsekuensi pergiliran kepala daerah yang demokratis, berpayung hukum (undang-undang). Tata cara penghambatan melalui tidak terfasilitasinya penyelenggara dalam pilkada (khususnya Bawaslu dan jajarannya) merupakan citra buruk yang harus segera dibenahi demi kedewasaan politik kita di masa yang akan datang.